Home > Serba Indonesia

Kebangkitan Rendo dari 'Mati Suri'

Rendo biasanya dimainkan ketika ada pesta dalam masyarakat Baduy.
Alat musik Rendo yang dimainkan oleh salah satu masyarakat Baduy dalam kegiatan revitalisasi. dok: Tim Pengmas UI

Oleh: Novita Hendriana, Annika Nurma Roji, Riska Pramita Tambunan, dan Nur Etik Aulia Rahma (Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia)

Suku Baduy merupakan suatu komunitas adat yang mendiami pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Baduy atau sering disebut juga urang Kanekes masih melestarikan tradisi nenek moyang. Mereka menjalani kehidupan dengan sederhana dan menghindari nafsu berlebihan terhadap urusan duniawi serta bergantung pada hasil alam.

Oleh karena itu, mereka sangat menghormati alam dengan berpedoman pada ajaran Sunda Wiwitan. Mereka percaya bahwa gunung tak boleh dihancur, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, buyut tak boleh diubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, yang lain harus dipandang lain, dan yang benar harus dibenarkan. Kepercayaan tersebut merupakan aturan adat mutlak Baduy atau pikukuh.

Sampai saat ini, pikukuh tidak mengalami perubahan apa pun. Pikukuh benar-benar memengaruhi segala aspek kehidupan di Baduy. Kesederhanaan dan tingginya kesadaran masyarakat atas nilai hidup mereka turut berpengaruh pada aspek kesenian di wilayah Baduy. Terdapat beberapa alat musik yang umum dimainkan oleh masyarakat, seperti suling, kecapi, gamelan sunda, angklung, dan rendo.

Alat musik tersebut biasanya dimainkan oleh kelompok kesenian yang secara turun-temurun menjadi tempat berkembangnya seni di wilayah Baduy. Alat musik yang terdapat di Baduy, ada yang dibawa dari wilayah luar Baduy, misalnya gamelan sunda dan alat musik khas Baduy itu sendiri, yakni rendo.

Rendo adalah alat musik yang terbuat dari batang kayu dan diberi senar kawat untuk kemudian dimainkan dengan cara digesek. Rendo secara spesifik hanya memiliki dua buah dawai. Rendo tidak memiliki nada pasti sehingga para pemain hanya mengandalkan perasaan untuk memainkannya. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan tinggi untuk dapat memainkan rendo dengan menawan.

Rendo biasanya dimainkan ketika ada pesta dalam masyarakat Baduy. Konon, saking syahdunya permainan rendo, warga akan berbondong-bondong memenuhi rumah penyelenggara hingga robohlah hunian tersebut. Robohnya rumah ini mereka maknai sebagai keberhasilan pesta yang sedang diselenggarakan.

Namun, saat ini kelestarian rendo sungguh terancam. Satu-satunya seniman yang mahir memainkan rendo telah meninggal dunia tanpa mewariskan keterampilannya kepada anak dan cucunya. Kini, rendo hanya dapat dilihat fisiknya oleh masyarakat Baduy sembari menerka-nerka bagaimana cara memainkannya seperti nenek moyang mereka dahulu.

Maka itu, Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia melihat urgensi untuk melakukan revitalisasi dalam kegiatan yang berlangsung pada 2-4 Agustus 2024. Menurut tim, eksistensi rendo sebagai alat musik tidak hanya terbatas sebagai “pengiring”, tetapi juga lebih konkret dikatakan sebagai identitas, citra, atau bahkan unsur seni yang mengutuhkan suku Baduy dari generasi ke generasi.

“Mati suri”-nya rendo dalam ekosistem hidup masyarakat Baduy menunjukkan bahwa ada permasalahan krusial yang perlu diatasi secara berkelanjutan agar rendo tetap hidup, meskipun dalam bayang-bayang kepunahan. Citranya yang kian “abu-abu” di masyarakat menempatkan rendo sebagai konstruksi penting dalam melihat dan memahami masyarakat Baduy—terlebih ihwal kekeluargaan—mengingat fungsi rendo yang secara turun-temurun dilisankan sebagai pengiring pitutur ambu atau cerita ibu, sedangkan saat ini keberadaan pegiat seni yang dapat memainkan rendo nihil jumlahnya.

Tim Pengmas FIB UI melakukan kegiatan revitalisasi alat musik rendo. dok. Tim pengmas UI

Sebagai bagian dari upaya revitalisasi alat musik rendo, tim Pengmas FIB UI melakukan diskusi dengan Sarpin, Sarikam, Salim, Pandi, dan Ahdi. Mereka adalah ketua kelompok kesenian dari beberapa desa di Baduy.

Berdasarkan hasil diskusi, mereka mengakui bahwa kedudukan rendo tenggelam oleh keberadaan biola, mengingat paduan nadanya yang lebih beragam dan adanya kemudahan dalam memainkan. Ketertinggalan rendo dan ketiadaan penerus membuat alat musik ini berpotensi punah.

Asumsi tersebut muncul karena memperhatikan respons masyarakat sekitar yang tampaknya kurang antusias dan memiliki rasa takut untuk mengubah komposisi nada rendo dengan menambah dawainya. Meskipun pada dasarnya, mereka menganggap bahwa tingkat kesakralan rendo belum menyentuh tahap “terlarang” untuk diperbanyak. Hal ini karena adanya rasa ketakutan atau kekhawatiran yang membuat ciri khas dari alat musik tersebut akan hilang. Ciri khas rendo terletak pada bentuknya yang hanya memiliki dua senar, yakni senar melodi dan senar gong serta tidak adanya nada yang pakem sebagai panduan untuk memainkannya.

Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung adat, tradisi budaya serta pikukuh sudah menjadi pedoman kehidupan urang Kanekes. Nilai-nilai ini tidak hanya tecermin dalam cara mereka menjalani kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam tradisi kesenian mereka.

Rendo adalah salah satu alat musik khas Baduy yang eksistensinya perlahan mulai dilupakan. Banyak faktor yang memengaruhi, salah satunya adalah hukum adat. Pengajaran rendo untuk para generasi muda tidak dapat dilakukan karena dipandang sebagai perubahan yang direncanakan. Dalam hukum adat masyarakat Baduy, adanya perubahan yang diniatkan merupakan hal yang haram dilakukan. Pengajaran kesenian atau hadirnya sanggar adalah suatu hal yang menyalahi adat.

Dengan demikian, upaya revitalisasi yang paling mungkin untuk dapat diwujudkan adalah dengan mengkreasikan rendo sebagai oleh-oleh khas Baduy berupa gantungan kunci, miniatur, dan baju bermotif rendo. Tujuannya adalah untuk mencegah hilangnya rendo dari memori masyarakat Baduy dan mengenalkan rendo kepada masyarakat luar Baduy. (rin)

× Image