Rendo, Permata Merdu dari Baduy
Oleh: Fadilah Suci Kamila Moopio, Siva Aulia Bil Kisti, dan Jasmine Naila Rahma (Mahasiswa FIB Universitas Indonesia)
Seni telah menjadi bagian dari panjangnya kesejarahan manusia di muka bumi. Seni juga adalah bagian integral dari kehidupan dan perkembangan peradaban. Hubungan ini bersifat dinamis, saling memengaruhi dan membentuk satu sama lain.
Seiring majunya peradaban, seni tetap digunakan sebagai medium utama untuk mengekspresikan identitas, masih sama seperti lukisan-lukisan di gua yang digambar oleh manusia zaman prasejarah untuk menggambarkan kehidupannya.
Musik, sebagai bentuk kesenian paling universal, juga memiliki tempat khusus dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, alat musik tradisional memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Alat musik dilihat sebagai salah satu ekspresi paling mendasar dari identitas budaya suatu kelompok masyarakat.
Alat musik tradisional merupakan representasi dari pengalaman kolektif, sejarah, dan identitas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagai contoh alat musik rendo sebagai alat musik tradisional dari masyarakat adat suku Baduy yang mendiami sebagian wilayah Lebak, di Selatan Banten.
Masyarakat adat suku Baduy percaya bahwa tugas mereka berada di dunia ini adalah untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam, oleh karena itu, segala bentuk kesenian di Baduy, baik itu kerajinan tangan, tarian, maupun alat musik diciptakan dengan prinsip menghormati alam dan menjaga keseimbangan tanpa melawan sistem norma yang berlaku. Sehingga, hadirnya alat musik dapat dilihat sebagai simbol dari sesuatu yang lebih dalam, tidak hanya berfungsi sebagai penghiburan atau keindahan bunyi yang dihadirkan.
Keberadaan rendo di tengah masyarakat Baduy tidak semeriah alat musik gamelan, tetapi tidak dimungkiri bahwa alat musik dengan dua senar kawat dan material kayu ini dapat menjadi bagian dari identitas masyarakat Baduy. Kehadiran musik di Baduy begitu erat dengan aktivitas di sawah, tetapi lain halnya dengan rendo. Rendo bersama kecapi dan suling menjadi pengiring pantun. Suara yang keluar dari gesekan alat musik rendo berkaitan erat dengan suasana hati pemain. Dua senar dengan satu senar aktif digesek tidak membuat alat musik ini kehilangan nada, bahkan justru merdu berdampingan dengan pantun dan nyanyian khas Sunda.
Rendo biasa ditemui saat acara pernikahan dan di dalam rumah sang pengantin, konon kemerduan alat musik ini bisa membuat rumah sang pengantin roboh. Hal ini dipercaya sebagai pertanda baik bahwa permainan alat musik rendo, suling, dan kecapi ini berhasil mendatangkan banyak penggemar.
Kehadiran alat musik rendo ini menjadi ciri khas yang ada dalam kolektif masyarakat Baduy, bahkan dapat menjadi identitas yang melekat. Rendo yang dihadirkan bersama pantun menambah keserasian dan dapat dengan mudah melekat di pendengar. Irama merdu yang sesuai dengan suasana hati pemain membuat setiap rendo berada di tangan pemain yang berbeda dapat menimbulkan alunan yang berbeda pula.
Begitu pula Pantun, yang menjadi tradisi lisan berisi petuah dan tembang. Kelestarian alat musik rendo ini menjadi begitu erat dengan pantun dan tembang yang ada di masyarakat Baduy.
Rendo sebagai alat musik yang dari bentuknya hanya dapat ditemui pada desa-desa di Baduy. Korelasi antara alunan dan pemain yang begitu erat ini dapat dikatakan bahwa dalam memainkan alat musik rendo perlu penghayatan demi tersampaikan tembang serta pantun yang akan dinyanyikan.
Ditemukannya permainan alat musik Rendo dalam upacara pernikahan atau ritual-ritual adat yang melambangkan kebahagiaan dipahami sebagai aktivitas kolektif yang mencerminkan filosofi kebersamaan dan komunalitas. Beriringnya permainan alat musik rendo, suling, dan kecapi ini melambangkan bahwa kedudukan musik di Baduy merupakan bentuk ekspresi bahwa setiap orang memiliki peran dalam menciptakan harmoni. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Baduy yang menekankan pentingnya gotong royong dan kebersamaan.
Rendo juga menampilkan wujud kesederhanaan dalam bentuk dan suara. Kesederhanaan dari memainkannya ini pula mencerminkan pandangan hidup masyarakat Baduy yang menghargai kesederhanaan sebagai inti dari eksistensi mereka. Bahwa hidup dengan seimbang dan menjaga alam sehingga tidak terjebak dalam kemewahan material adalah kunci kebahagiaan sejati dan tujuan hidup mereka.
Esensi seni yang diterapkan oleh masyarakat Baduy merupakan salah satu elemen yang berperan dalam keselarasan harmoni kehidupan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalamnya. Melalui elemen kesenian, masyarakat Baduy memanifestasikan nilai keindahan yang ekspresif sebagai upaya penegasan hakikatnya sebagai manusia. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai filosofis, masyarakat Baduy mengguratkan perjalanan kesejarahan mereka dalam alat musik rendo sebagai alat musik tradisional.
Berangkat dari nilai-nilai falsafah itu kemudian dapat disimpulkan bahwa keberadaan alat musik rendo sebagai salah satu pengayaan dinamika hidup masyarakat Baduy secara simbolis, juga pantas untuk mendapat atensi yang sama besarnya dengan figur kesejarahan lain. Hal ini tidak lain untuk mewujudkan pengupayaan paling minimal para peneliti dan pemelajar, yaitu berbagi rasa simpati berupa pelestarian seni yang berdasar dari kekaguman etos hidup yang dimiliki masyarakat Baduy.
Sebagai masyarakat awam yang hidup ditengah nilai pemaknaan hidup yang terdegradasi disebabkan oleh arus metropolitan, keberadaan dinamika masyarakat Baduy dan rendo sebagai produk simbolisnya dapat dijadikan refleksi terhadap pengupayaan hidup masyarakat metropolis dewasa ini, yang secara tidak sadar menihilkan pemaknaan nilai-nilai sekitar berupa kesederhanaan. Oleh karena itu, diradiasikan oleh semangat hidup masyarakat Baduy dalam kultur manusia sekaligus budaya berupa kesenian dan alat musiknya, dapat disimpulkan bahwa untuk hidup adalah untuk merasa cukup dalam penerjemahan harkat hidup yang sejatinya mahakaya.
Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia melaksanakan kegiatan revitalisasi terhadap rendo, alat musik tradisional masyarakat Baduy. Kegiatan revitalisasi ini dilaksanakan pada 2-4 Agustus 2024, di kampung adat Baduy, Lebak, Banten. (rin)