Transformasi Sampyong, Ubah Citra yang tak Lagi Menyeramkan
Menurut Abah UU, sekitar abad ke -14, Kesultanan Cirebon mengadakan seleksi perekrutan pegawai kerajaan atau abdi dalem sebagai pamitra atau pengawal raja.
Namun, pada waktu itu terdapat tokoh utama atau jawara Sampiyuhan atau ujungan yang paling ditakuti dan disegani. Dia bernama Ki Peres Suranenggala. Ujungan adalah seni tarung rakyat dengan menggunakan rotan.
Ki Peres Suranenggala atau Ki Bagus Rangin memiliki kekuatan yang membuatnya tidak dapat dikalahkan. Rahasianya adalah karena ia memiliki ilmu kebal Kanoragan. Kanoragan atau kanuragan adalah suatu ilmu yang memiliki kekuatan magis yang dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga diri.
Berdasarkan peristiwa tersebut, menurut Abah UU, menarik garis pemetaan bahwa Sampiyuhan atau ujungan menyebar mulai dari Kecamatan Kapetakan Cirebon Utara hingga pelosok, seperti Tugu Indramayu, Jatitujuh, Majalengka, dan sekitarnya. Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini berkembang luas di masyarakat yang berlatih dan belajar ilmu untuk kekuatan tubuh, juga ketangkasan beladiri tahan banting atau tahan pukul.
Kemudian, tradisi Sampiyuhan sering ditanggap untuk sebagai pertunjukan yang diiringi gamelan, kendang, terompet, dan gong pada peristiwa tertentu.
Pada masa itu, masyarakat banyak tertarik terhadap pertunjukan Sampyong, terutama etnis Tionghoa. Maka terjadilah dinamika perubahan bentuk dan perubahan penamaan Sampiyuhan menjadi Sampyong di kalangan etnis tersebut. Mereka yang menonton pertunjukan ketangkasan adu nyali berupa adu kekuatan dengan pukulan menggunakan rotan. Masing-masing pukulan sebanyak tiga pukulan, "Sam- Pyong". Sam berarti tiga, sedangkan Pyong memiliki arti pukulan.
Seiring dari dinamika politik, pada masa kolonialisme Majalengka masuk ke wilayah Karesidenan Cirebon. Sejarah Kabupaten Majalengka pun tidak terlepas dari sejarah Cirebon dan masyarakat Cirebon.
Sekitar abad ke-18, tokoh pemuda pejuang kemerdekaan bernama Ki Bagus Rangin. Dia salah satu pemimpin dari gerakan pemberontakan rakyat terhadap Belanda. Peristiwa perang Kedongdong atau Perang Cirebon sendiri pencetusnya adalah Ki Bagus Rangin pada awal abad ke-19.
Selain itu, Ki Bagus Rangin mengumpulkan para pemuda tangguh untuk dilatih dan dibina dalam satu wadah, yang bernama Jayang Sekar. Mereka dilatih berbagai ketangkasan bela diri, adu kekuatan, tahan pukul, dan tahan banting untuk dijadikan sebagai garda terdepan.
Sampyongan pun dilestarikan di Majalengka diperkirakan pada 1960. Persebarannya meliputi Desa kulur Cibodas, Cigasong, Simpeureum, manjeti, Baribis, Cijati, Jati pamor, Pasir Muncang, Kiara Pandak, Panyingkian, Mandapa, Balida, Kertajati, Desa Bayawak, Jati Tujuh, dan sekitarnya.
"Perlu adanya keseriusan dari pihak-pihak terkait dalam pemajuan Sampyong," kata Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Majalengka, Taswara, dalam sambutannya sebelum acara FGD. Dia juga berpesan agar generasi muda dapat senantiasa peduli kepada Budaya Buhun atau budaya asli Sunda.
Tim Hibah Kepedulian Masyarakat yang didampingi dosen pembimbing lapangan dari FIB UI, Dr. Syahrial, juga melakukan diskusi akademik yang dilaksanakan pada 15 September 2023. Acara dihadiri oleh Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Majalengka, Taswara M. Kom, Kepala Bidang Kearsipan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Dr. Oman Surahman, sejumlah pejabat dari pemda setempat, dan masyarakat. Sampyong turut ditampilkan dalam acara tersebut. (rin)