Catatan Tentang 'Gau Maraja' Sulawesi Selatan 2019-2022
Pada GM episode ketiga beberapa bulan lalu di Fort Rotterdam, saya kembali mengamati dan melanjutkan catatan pembacaan pertunjukan. Saya mulai mengamatinya dari video prapertunjukan. Ada sebuah bisikan teman yang masih teringat, “Itu yang main di video seperti bermain teater, tidak seperti bermain film”. Namun, hal itu tidak saya jadikan fokus untuk catatan.
Selanjutnya, pada saat menghadiri opening ceremony, saya memperhatikan gerbang GM III yang “tidak serius”, maksudnya pengaturan gerbang tersebut tidak ditata dengan baik, posisi gerbangnya sangat berdekatan bahkan bercampur dengan lokasi parkiran motor. Padahal, andai gerbang tertata rapi, kegiatan ini tidak memerlukan spanduk di dekat gerbang.
Mari kita mulai menuju panggung pertunjukan. Saya sempat dikagetkan bahkan sampai mengerutkan kening melihat posisi tenda untuk tamu undangan—berwarna putih—yang berada di utara benteng, sedangkan panggung menghadap ke barat, lalu apa yang ingin disajikan buat tamu undangan itu?
Rasanya sangat ganjil melihat posisi tendanya itu. Selain itu, ada juga tenda untuk tamu VIP di atas Bastion Bone, saya kurang yakin mereka bisa menikmati pertunjukan dari atas sana. Kemudian, saya mengitari panggung dan melihat jejeran gerbang Walasuji, secara estetika itu menarik, tetapi saya tidak mendapatkan poin relevansi dan tujuan pemosisian tersebut. Bahkan lebih menarik bila disimpan di beberapa titik, tidak hanya satu lorong itu—lokasinya mulai pintu masuk melintasi bangunan yang dulunya gereja.
Sebagai tambahan, para stan kuliner tidak turut bertematik. Semestinya, apabila mereka "disetting" berdasarkan tema maritim, spirit pertunjukan dirasakan sampai bagian yang hampir luput ini. Mau bagaimana lagi, seluruh hal yang ada dalam Fort Rotterdam menjadi bagian dari tubuh seni pertunjukan dan tanggung jawab GM sebagai suatu event.
Kembali ke panggung, terdapat beberapa miniatur payung besar berurutan warna kuning-merah-hijau yang berseberangan dengan dua miniatur boneka Kanana’ (boneka tradisional berbahan daun lontar buatan Dg. Manda, seorang maestro tari laki-laki); rajutan sarung—mungkin sampai ratusan motif menyelimuti panggung; serta miniatur kecil mengenai kapal dan konteks maritim. Untuk desain panggung ini, saya belum paham korelasi rajutan sarung tersebut dengan tema pertunjukan secara keseluruhan. Pada pertunjukan pembukaan, Dg. Parewa tampil kembali dari perantauannya.
Seperti halnya GM sebelumnya, garapan teater dan tari kolosal disajikan dengan sangat menarik dan atraktif. Suatu hal yang menarik, yakni Dg. Parewa menarasikan perjalanannya sambil bernyanyi, dramatikal pertunjukan sangat menghibur sebagai sajian populer.
Di lain sisi, hal yang cukup menjadi fokus saya, yaitu musik iringan pembukaannya, sepertinya kolaborasi antara ‘musik live’ dan ‘midi digital’ perlu disinkronkan lebih serius, khususnya pada pertunjukan tari kolosalnya, ada beberapa bagian yang ‘patah’, tapi masih bisa ditoleransi.