Catatan Tentang 'Gau Maraja' Sulawesi Selatan 2019-2022
Selanjutnya, GM II terlaksana di Pantai Akkarena pada Oktober 2020. Persiapan GM kali kedua ini sepertinya sudah terkonsep dengan baik. Mulai dari prapertunjukan hingga pelaksanaannya.
Suatu hal yang menarik pada prapertunjukan, yaitu pembuatan video singkat yang tersebar di media sosial mengenai beberapa warga lintas pulau, dan memunculkan sosok fiktif Daeng Parewa yang akan melakukan pelayaran (konteks dagang dan jalur rempah). Di GM II ini, saya baru mengetahui bahwa munculnya sosok Dg. Parewa merupakan ikon GM. Mungkin di GM I sosoknya sudah dimunculkan, tetapi saya belum membacanya sebagai sosok ikon GM.
Secara jujur, konsep maritim yang dibangun GM II ini turut membawa fantasi saya ikut berlayar. Bahkan, sempat terlintas dalam benak saat Dg. Parewa berlayar bersama awaknya, mereka bertemu dengan pihak kompeni dan melakukan sedikit adegan negosiasi, bahkan sampai pada mini battle, tetapi itu hanya sebuah fantasi pribadi.
Lebih lanjut, instalasi kapal yang dibuat tim GM II ini sangat mengagumkan. Selain menjadi latar panggung, ia juga menjadi panggung, suatu properti yang multifungsi, dan patut diapresiasi. Kemudian, di sekitar panggung suasananya lebih ‘hidup’ dengan adanya beberapa kain merah-hitam yang tertancap di sekitar bibir Pantai Akkarena, mengibaratkan kapal mini yang akan mengiringi pelayaran Dg. Parewa. Ditambah pemutaran video di LED, betul-betul menambah suasana menjadi suatu perlayaran ke pulau seberang.
Masih konteks GM II, sampai sekarang saya masih terngiang dengan garapan teater dan tari kolosal opening-nya. Meskipun saat itu pandemi Covid-19 masih berlangsung, kostum para pemain menjadi adaptif dengan prokes. Hebatnya, tanpa menghilangkan kesan estetisnya.
Pemilihan lokasi pesisir pantai sangat tepat untuk tema dan situasi pertunjukan pada sore itu. Namun, hal teknis seperti luaran sound system tidak luput dari perhatian, mungkin pengaruh pantai yang anginnya kencang cukup memengaruhi pendengaran, yang kadang tidak dapat berfokus, bahkan hilang frekuensi. Sedangkan pada lighting panggung, cukup baik.
Namun, saya punya catatan, seperti perlunya ada briefing setiap peserta terhadap list pertunjukan dan kebutuhan pencahayaan masing-masing; ada beberapa bagian di atas panggung yang tidak tersentuh, misalnya pada saat (Alm) Dg. Tutu membawakan Sinrili’, beliau setelah pentas, bergumam tidak ada pencahayaan yang cukup untuk melihat teks yang dibawakannya, bahkan tidak adanya asisten yang mendampinginya sehingga teksnya terbang terbawa angin. Hal seperti ini perlu dijadikan perhatian ekstra.