Catatan Tentang 'Gau Maraja' Sulawesi Selatan 2019-2022
Oleh: Muhammad Fadhly Kurniawan, Alumnus Kajian Tradisi Lisan (Budaya Pertunjukan) Universitas Indonesia, Peneliti Transkrip Tradisi Lisan
DIPLOMASI REPUBLIKA, MAKASSAR-- Sebenarnya, catatan ini sudah lama ingin saya tuangkan, tapi setelah diskusi bersama seorang rekan, Alif Anggara, di halaman Gedung Kesenian, semakin membulatkan tekad untuk menuliskannya. Catatan ini merampung tiga episode hasil menyaksikan pertunjukan Gau Maraja (selanjutnya baca GM) di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Secara etimologi, Gau Maraja berasal dari bahasa Bugis, yang berarti perhelatan akbar. GM yang berupa festival objek pemajuan kebudayaan ini diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi Selatan. Festival ini menjadi ruang ekspresi dan kolaborasi beragam kesenian dan kebudayaan yang ada di Sulsel, antara lain, tari, teater, musik dan rupa.
Saya melakukan pengamatan terhadap seni pertunjukan GM beberapa kali. Pertunjukan perdana GM (I) dilaksanakan di sekitar kawasan Center Point of Indonesia (CPI) tahun 2019, pertunjukan kedua (II) di Pantai Akkarena tahun 2020, dan yang ketiga (III) terlaksana di Benteng Fort Rotterdam, September 2022.
Pengamatan pertama, pertunjukan GM saya saksikan bersama teman-teman seminar Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia (UI), yang dilaksanakan di Universitas Hasanuddin (Unhas) pada Oktober 2019. Setiba di sekitar kawasan CPI—saat ini dekat kawasan Lego-Lego, hampir saja saya tidak mengetahui adanya kegiatan yang terlaksana di sana, mungkin karena kurangnya penanda bahwa GM I terlaksana di sekitar CPI.
Kemudian, setelah memarkir kendaraan, kami menuju sekitar panggung. Namun, kondisi saat itu malam hari, "settingan" konsepnya kurang estetis sehingga tidak memiliki daya tarik untuk betah berada di sekitar panggung. Penonton tidak terkontrol dengan baik, ditambah kondisi CPI saat itu masih sedang dalam proses pembangunan, banyak debu yang cukup mengganggu penonton. Saya tidak sampai memberikan catatan atau penilaian para penampil, hanya pada teknis lapangan yang cukup mendistorsi mood saya sebagai penikmat pertunjukan.
Keesokan sore harinya di lokasi pertunjukan, saya tetiba terfokus pada perahu dan bagang yang berhadapan dengan panggung—mungkin sebagai properti saat pembukaan, sangat disayangkan tidak begitu dihias-kemas dengan rapi, sehingga pada malam hari tidak begitu tampak menjadi bagian ikon GM.