Anak-Anak Palestina Kelaparan dan Kekurangan Air Bersih
DIPLOMASI REPUBLIKA, RAFAH -- Akibat serangan militer Israel ke Jalur Gaza, sebagian besar penduduk Palestina harus mengungsi ke Gaza Selatan. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggal masing-masing.
Mereka yang berada di tenda-tenda pengungsian, terutama anak-anak, mulai mengalami kelaparan akibat kurangnya persediaan makanan dan air bersih. Perlu berhari-hari keluarga pengungsi dalam mencari makanan.
Berbicara kepada Reuters, para pengungsi mengungkapkan keadaan mereka yang makan hanya sekali sehari, makanan dan nutrisi yang tidak mencukupi, penjatahan air, termasuk anak-anak yang terkena diare karena minum air kotor.
Dari sekian banyak kisah, ada kisah seorang pengungsi yang hanya dapat memberi makan keluarganya pada hari itu dengan sekaleng kacang. Itu pun sumbangan seorang pria yang merasa iba ketika melihat dirinya menangis.
Tahany Nasr, seorang pengungsi, menceritakan bahwa anak-anaknya mengalami penurunan berat badan dan sering pusing karena kurang makan. Dia mengaku sudah berusaha untuk mendapatkan bahan makanan.
"Saya ke Dinas Sosial, mereka bilang ke masjid. Saya ke masjid, mereka bilang ke Kementerian,” katanya, merujuk pada kementerian yang biasanya mengatur distribusi barang-barang pokok dan bahan-bahan makanan.
Suatu hari anak-anaknya ingin sekali menyantap daging ayam, tetapi dirinya tidak dapat mengabulkan permintaan mereka.
"Kami belum menerima makanan apa pun selama dua hari. Bagaimana cara saya membodohi anak-anak saya? Dengan pasta? Rebusan miju (jenis kacang)? Jika saya bisa menemukannya!" katanya sambil terisak.
Dia lalu masuk ke tendanya untuk mengambil sekaleng kacang yang menurutnya diberikan oleh seorang pria baik hati. "Kaleng ini adalah satu-satunya yang kami punya sepanjang hari ini," katanya. Terkadang dia hanya dapat membuat makanan dari bawang.
Kelaparan telah menjadi masalah paling mendesak yang dihadapi ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi. Akibat kekacauan perang, distribusi bantuan menjadi tidak merata karena truk-truk hanya mampu membawa sebagian kecil dari apa yang dibutuhkan.
Bahkan, beberapa truk yang membawa bantuan telah dihentikan dan dijarah oleh orang-orang yang sangat membutuhkan. Sementara itu, sebagian besar wilayah berada di luar jangkauan truk-truk tersebut karena akses jalan merupakan medan pertempuran yang aktif.
Terlebih di Rafah, yang merupakan tempat penyeberangan ke Mesir dan menjadi jalur masuknya truk-truk bantuan. Di sana, kelangkaan makanan dan air bersih begitu parah sehingga menyebabkan orang-orang jatuh sakit.
“Kami mulai melihat orang-orang datang dalam keadaan kurus,” kata Samia Abu Salah, seorang dokter di Rafah, dikutip pada Ahad (25/12/2023).
Dia mengatakan pasien yang datang banyak yang mengalami penurunan berat badan dan anemia. "Orang-orang sangat lemah dan mengalami dehidrasi sehingga lebih rentan terhadap infeksi dada dan penyakit kulit," katanya.
Menurut dia, bayi dan anak-anak merupakan kelompok yang paling berisiko. Kondisi akibat perang saat ini dapat berdampak pada pertumbuhan mereka.
Kantor berita Aljazirah melaporkan, UNICEF sudah memperingatkan soal risiko besar bagi anak-anak di Gaza karena terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi di tengah pengeboman tanpa henti yang dilakukan Israel.
"Akses terhadap air bersih dalam jumlah yang cukup adalah masalah hidup dan mati, dan anak-anak di Gaza hampir tidak mempunyai setetes air pun untuk minum,” kata Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell.
Menurut dia, tanpa air bersih, akan lebih banyak lagi anak-anak yang meninggal karena penyakit dalam beberapa hari mendatang. Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit yang ditularkan lewat air, dehidrasi, dan malanutrisi. Pada pekan sebelumnya, WHO telah melaporkan kasus meningitis, cacar air, penyakit kuning, dan infeksi saluran pernapasan atas.
Serangan militer Israel di Jalur Gaza telah menewaskan hampir 20.000 korban jiwa, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, menurut pejabat kesehatan di sana. Serangan tersebut telah menimbulkan bencana kemanusiaan bagi rakyat Palestina. (reuters/zed)