Kesaksian Dokter Bedah Inggris Selepas Pulang dari Gaza
DIPLOMASI REPUBLIKA, BEIRUT – Ghassan Abu Sitta, dokter Inggris keturunan Palestina, mengungkapkan kesaksian dan menuturkan pengalamannya setelah beberapa pekan berada di Gaza. Ia memberikan pula kesaksian di unit penyelidikan kejahatan perang Inggris.
Abu Sitta merupakan dokter bedah plastik dengan spesialisasi bedah di tengah wilayah konflik, yang bergabung dengan tim medis Doctors Without Borders. Ia telah berkali-kali terjun ke Gaza sejak akhir 1980-an ketika mulai menjadi mahasiswa kedokteran.
Sejumlah wilayah konflik pernah pula ia datangi, seperti Irak, Suriah, dan Yaman. Abu Sitta masuk ke Gaza melalui Mesir pada 9 Oktober atau dua hari setelah serangan Hamas ke Israel, kemudian Israel melakukan serangan balasan ke Gaza selama 43 hari.
Selama di Gaza, ia menjalani aktivitas medisnya di Rumah Sakit (RS) al-Ahli dan Shifa yang berlokasi di Gaza utara. Merujuk keterangan Kementerian Kesehatan Gaza, korban serangan Israel kebanyakan perempuan dan anak-anak.
Serangan Israel kian intens setelah memperoleh dukungan militer dan diplomatik dari sekutu dekatnya, Amerika Serikat (AS). Kantor berita Associated Press (AP) mewawancarai Abu Sitta dalam sebuah kunjungan ke Institute for Palestine Studies di Beirut, Lebanon, Sabtu (9/12/2023).
Abu Sitta menuturkan pengalamannya atas apa yang terjadi di Gaza. Ia mengungkapkan, ‘’Instensitas konflik di beberapa wilayah yang pernah saya alami dibandingkan perang di Gaza, seperti perbedaan antara banjir dan tsunami.’’
Selain banyaknya warga sipil Gaza yang kehilangan nyawa dan terluka, sistem kesehatan menjadi target serangan dan dihancurkan. Hal terburuk bermula saat habisnya morfin dan persediaan memadai analgesik.
Kemudian, kehabisan medikasi anestetik, yang biasa disebut dengan pembiusan dalam proses untuk pengobatan agar pasien tak merasakan kesakitan. ‘’Ini berarti, Anda harus melakukan prosedur menyakitkan karena tak adanya anestetik,’’ ujar Abu Sitta.
Saat kembali ke Inggris, ia ditanya oleh unit kejahatan perang di Metropolitan Police untuk memberikan bukti-bukti kemungkinan penyelidikan kejahatan perang.
Polisi menyampaikan permintaan kepada mereka yang kembali dari Israel atau Palestina, yang menyaksikan atau menjadi korban terorisme, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan untuk mengungkapkan kesaksiannya.
Abu Sitta menyatakan, sebagian besar kesaksiannya berhubungan serangan terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan di Gaza. Ia bekerja di RS al-Ahli pada 17 Oktober saat ledakan mematikan mengguncang halaman RS, yang menjadi tempat bernaungnya pengungsi.
Serangan Israel itu menyebabkan kematian ratusan orang. Otoritas Israel juga badan intelijen AS dan Prancis mengeklaim ledakan itu disebabkan roket yang salah ditembakkan oleh pejuang Palestina, Hamas. Namun, Hamas menyatakan itu serangan Israel.
Abu Sitta mengungkapkan, banyak warga terluka yang ia lihat menunjukkan konsistensi kerusakan yang diakibatkan rudal Hellfire milik Israel, yakni pecahan metal yang menyebar membuat luka yang memaksa dilakukan tindakan amputasi pada penderita.
Human Rights Watch juga menyatakan, pola fragmentasi pada kawah akibat ledakan merupakan pola tipikal dampak dari rudal Hellfire atau lainnya yang digunakan Israel. Abu Sitta menambahkan, saat di Gaza, dia merawat pasien yang mengalami luka bakar.
Menurut dia, luka bakar itu akibat fosfor putih, yang ia lihat juga selama perang pada 2009. Israel diyakini pula menggunakan senjata fosfor putih dalam serangan ke Gaza. Ia pun memberikan gambaran mengenai luka bakar akibat fosfor putih ini.
‘’Senjata fosfor menyebabkan kebakaran kimiawi yang menembus ke dalam bagian tubuh manusia dibandingkan luka bakar termal, yang bermula pada bagian luar kemudian menyebar luas ke bagian permukaan tubuh,’’ ujar Abu Sitta.
Lembaga-lembaga HAM menuding pasukan Israel menjatuhkan bom berisi fosfor putih di wilayah Gaza dan Lebanon yang padat penduduk selama berlangsungnya perang melawan Hamas. Namun, Israel membantahnya, tak menggunakan senjata ini untuk menyasar sipil.
Abu Sitta yang bergiliran bertugas di RS al-Ahli dan Shifa hospital, telah meninggalkan RS Shifa saat pasukan Israel memasuki RS tersebut. Pasukan Israel menyerbunya dengan alasan menjadi pusat komando perlawanan Hamas.
Para pejabat Israel lalu merilis gambar terowongan dan ruangan bawah tanah yang mereka klaim digunakan Hamas. Namun, tak ada bukti sahih yang mendukung klaim Israel itu. Abu Sitta, seperti tenaga medis lainnya kompak menepis tudingan Israel tersebut.
Argumennya, ia memiliki akses penuh ke RS Shifa. ‘’Tak pernah ada sekalipun kehadiran militer di sana.’’ Ia menambahkan, polisi yang bekerja untuk mengendalikan kerumunan di depan unit gawat darurat hanya bersenjatakan pentungan.
Sang dokter ini berharap, penyelidikan kejahatan perang oleh Inggris akan membuahkan penuntutan, baik secara lokal maupun internasional.
Kepala Jaksa International Criminal Court, Karim Khan, selepas mengunjungi Tepi Barat dan Israel pekan lalu menyatakan, pembuktian adanya kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan Hamas ataupun Israel menjadi prioritas kantornya. (ap/han)