Home > Serba Indonesia

Sajak Taufiq Ismail Tentang Palestina

Puisi di atas dikutip dari bukunya yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia: Seratus Puisi Taufiq Ismail (2000)
Burung melintas saat asap mengepul dari bagian utara Jalur Gaza akibat serangan Israel, Ahad (29/10/2023). (EPA-EFE/HANNIBAL HANSCHKE)
Burung melintas saat asap mengepul dari bagian utara Jalur Gaza akibat serangan Israel, Ahad (29/10/2023). (EPA-EFE/HANNIBAL HANSCHKE)

Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu

Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku

bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu berdarah,

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat

sebesar saputangan lalu Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari

kantor agrarian, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan

khatulistiwa, yang dirampas mereka,

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah

tanah dan sepatusepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita

semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil

belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan

yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi

air

mataku,

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,

Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka,

menjawab laras baja dengan timpukan batu Cuma, lalu dipatahi

pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa

anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan

tulang mudah mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan

rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret

tubuh si zalim ke neraka,

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim

Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi

‘Allahu Akbar!’

dan

‘Bebaskan Palestina!’

Ketika pabrik tak Bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta,

menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki

tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara,

membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,

membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat,

Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun

berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan

kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang

menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara,

lalu dengan kukuh kita bacalah

‘la quwwatta illa bi-Llah!’

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu

Tanahku jauh, bila diukur kilometernya beribu-ribu

Tapi azan Masjidil Aqsha begitu merdu

Serasa terngiang-ngiang di telingaku.

1989

---

Taufiq Ismail adalah salah satu penyair Indonesia yang dianggap sebagai tokoh sastrawan Angkatan ’66. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga guru dan wartawan sehingga memiliki minat baca yang baik. Sejak SMA, ia sudah bercita-cita menjadi seorang sastrawan, tetapi menempuh pendidikan tinggi sebagai dokter hewan dan ahli peternakan. Sebagai seorang penyair, ia memulainya pada saat menulis sajak-sajak demonstrasi yang yang terkumpul dalam Tirani dan Benteng tahun 1966. Ia juga pernah dibatalkan melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) karena ikut menandatangani Manifes Kebudayaan. Karya-karya sajaknya sudah banyak dipublikasikan. Beberapa di antaranya sering kali dimusikalisasikan oleh grup musik Bimbo.

Penyair Taufiq Ismail saat berbincang dengan Republika di rumahnya, Jalan Utan Kayu Raya, Jakarta, Rabu (24/4/2019). (dok. Republika/Hasanul Rizqa)
Penyair Taufiq Ismail saat berbincang dengan Republika di rumahnya, Jalan Utan Kayu Raya, Jakarta, Rabu (24/4/2019). (dok. Republika/Hasanul Rizqa)

Puisi di atas dikutip dari bukunya yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia: Seratus Puisi Taufiq Ismail (2000). (lur)

× Image