Tradisi 'Naik Haji' di Gunung Bawakaraeng
DIPLOMASI REPUBLIKA, MAKASSAR-- Ada tradisi menarik yang dilaksanakan di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan, setiap Idul Adha. Masyarakat setempat melaksanakan ibadah 'haji' di ketinggian 2.830 mdpl. Seperti yang dituturkan oleh Fadhly, peneliti Transkrip Tradisi Lisan yang merayakan lebaran haji di Gunung Bawakaraeng pada Kamis (29/6/2023).
Awalnya, dia memahami tradisi tersebut adalah sebuah seremonial replika ibadah Haji (rukun Islam kelima) yang dilakukan di Makkah, kemudian diterapkan juga oleh masyarakat jamaah Gunung Bawakaraeng. "Realitanya, informasi tersebut sudah menjadi konsumsi umum masyarakat selatan Sulawesi dan menjadi tradisi lisan yang dipelihara hingga saat ini," katanya.
Fadhly mengisahkan ini adalah kali kedua berlebaran di sana, yakni pada 2019 dan 2023. Pada pendakian kedua ini, dia ingin menyaksikan dan merasakan lagi suasana kegiatan 'berhaji' di gunung tersebut. Dia mendaki bersama 13 orang lainnya, yang berasal dari kalangan akademisi dari Filologi-Universitas Indonesia beserta beberapa masyarakat lokal dari Manipi.
Ternyata setelah berlebaran di sana, menurut dia, hasil yang ditemukan sangat bertolak belakang dengan narasi yang berkembang. "Saya tidak menemukan satu pun aktivitas yang bereplika ibadah Haji di Makkah tersebut, seperti memakai ihram, melakukan wuquf, sai, thawaf, dan lainnya," katanya.
Dia justru menemukan aktivitas yang dilakukan hanya shalat Iduladha seperti pada umumnya. "Ada protokol MC, imam shalat, dan khatib, mereka berasal dari Kindang-Bulukumba," katanya.
Berkenaan dengan terminologi “Haji” yang mereka gunakan itu, Fadhly menjelaskan untuk mengawalinya dengan memurnikan makna dan kata 'Haji'. "Fakta di lapangan dengan narasi yang berkembang seolah konsep Haji sebagai rukun Islam kelima itu 'dipaksa' diseragamkan dengan ritual yang dilakukan di Bawakaraeng, apakah hanya karena waktunya bertepatan?" katanya saat dihubungi, Kamis (6/7/2023).
Dia menjelaskan, dalam masyarakat Manipi, terdapat terminologi Haji dalam bahasa Konjo yang mereka gunakan sehari-hari. Secara pelafalan, kata Haji menggunakan koma atas di akhiran katanya, menjadi Haji’ (Mks: Baji’). Kosakata ini secara hemat diartikan sebagai suatu yang baik atau kebaikan. Dia pun mengatakan ada adab-adab saat mendaki gunung tersebut.
Dia lalu menafsirkan, adab-adab tersebut merupakan salah satu rangkaian untuk mendapatkan hakikat nilai Haji’ seperti yang berlaku di terminologi masyarakat Manipi. Maksudnya, menurut dia, aktivitas pendakian tersebut merupakan suatu manifestasi dalam mendapatkan nilai-nilai yang baik. "Nilai-nilai yang mampu meningkatkan sensivitas spiritual, sehingga pelakunya merasa dirinya kembali fitrah dan suci," katanya.
Dia mengatakan, Gunung (Mks: Bulu’) Bawakaraeng terlalu sempit dan kecil bila hanya membahas peristiwa lebaran Hajinya. "Ada banyak interdisiplin ilmu pengetahuan yang berkelindan dapat memberikan sense of life (kesadaran batiniah, lahiriah, hingga spiritual)," katanya.
Fadhly menjelaskan suatu sejarah yang terkait dengan gunung tersebut dan Syekh Yusuf, tokoh ulama kenamaan Kerajaan Gowa. Seperti yang diceritakan (Alm) Syarifuddin Dg. Tutu kepadanya, yang pernah mengungkapkan kata Bawakaraeng itu bukan bermakna “Mulut Tuhan” seperti yang beredar di masyarakat. Namun, dia menjelaskan dalam perspektif Sinrili’ bahwa Bawakaraeng ialah suatu aktivitas U’rangi (mengingat), yang bila diurai menjadi Bawa: ucapan, Karaeng: Ilahi, sehingga ditafsir menjadi “ucapan tentang ilahi” kemudian dikonversi menjadi dzikir (mengingat ilahi).
"Hal itu ditegaskan beliau, merupakan syarat wajib dilakukan oleh Syekh Yusuf selama melakukan pendakian Ma’lino (bertafakkur) mencari ilmu di puncak Gunung Bawakaraeng," katanya.
Namun, pada konteks lain, memang ada masyarakat selatan Sulawesi yang menganut tarikat bernama Khalwatiah ajaran Tuanta Salamaka Syekh Yusuf. Mereka memercayai bahwa Gunung Bawakaraeng merupakan tempat suci dan merupakan tempat Syekh Yusuf pernah bertemu dengan Wali suci untuk menyempurnakan ilmu makrifatnya.
Peristiwa tersebut, menurut Fadhly, tertuliskan juga di kesenian tutur masyarakat Makassar, yaitu Sinrili’na Tuanta Salamaka. Setelah itu, Tuanta diarahkan untuk mengesahkan ilmunya di Mekkah, berdasarkan catatan lontara bilang raja Gowa dan Tallo (1986), tercatat beliau meminta izin untuk ke Mekkah pada tanggal 22 September-27 Rajab. Begini bunyi teksnya, Namappalak kana I Tuang Syekhu Yusuf kalauk Hakji (1054 H-1644 M). (rin)