Festival Assiring Bitombang, Membaca Memori Kampung Tua Silajara
DIPLOMASI REPUBLIKA, KEPULAUAN SELAYAR--Ada apa dengan siring balla masyarakat Bitombang? Pertanyaan itu terjawab dalam festival kali ini.
Festival rakyat bertema "Assiring Bitombang" digelar di Kampung Bitombang, Desa Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar (Silajara), Sulawesi Selatan, pada Sabtu (18/6/2022).
Misbach Daeng (Dg.) Bilok, seorang seniman lokal menginisiasi kegiatan kultural tersebut. Beragam jenis kebudayaan masyarakat Bitombang pun ditampilkan. Di antaranya, pertunjukan kesenian, hasil kebun, olahan kuliner tradisional, kerajinan tangan, serta museum barang antik koleksi masyarakat Bitombang.
Daeng Bilok mengatakan, kegiatan ini juga dapat dimaknai sebagai ekspresi rasa syukur masyarakat Bitombang atas berlimpahnya hasil panen yang diperoleh. "Assiring bitombang adalah suatu bangunan konsep (kegiatan budaya) a’buaki kampong, yang berarti suatu ekspresi syukur atas limpahan hasil kebun," katanya menjelaskan saat ditemui, Sabtu (18/6/2022).
Kampung Bitombang berada di wilayah agraris Pegunungan Kabupaten Selayar. Masyarakatnya bermata pencaharian yang terkait dengan hasil bumi. Oleh sebab itu, dalam kegiatan kali ini mereka menampilkan, antara lain hasil kebun, olahan kuliner, kerajinan tangan, yang seluruhnya dikemas dalam bentuk seni pertunjukan.
Kampung Bitombang juga terkenal dengan sebutan kampung tua. Bitombang memiliki ciri khas yang tidak ditemukan di wilayah lain, yaitu pada arsitektur rumah. Rumah di sana berbentuk panggung dan bersandar di tepi tebing yang curam. Tiang-tiang rumahnya pun rata-rata lebih dari dua meter.
Peneliti Transkrip Tradisi Lisan Indonesia, Muhammad Fadhly Kurniawan, menyebutkan bahwa secara etimologi, festival Assiring Bitombang terdiri atas dua kata dari bahasa Makassar. Assiring: siring yang berarti kolong rumah dan Bitombang yang berarti nama kampung di lingkungan Desa Bontobangun.
Fadhly mengatakan, pesta rakyat Assiring Bitombang terinspirasi dari segala aktivitas yang dilakukan di kolong rumah masyarakat Bitombang. "Hal itu juga tidak terlepas dari salah satu—dari tiga pemetaan—bagian kosmologi kebudayaan Makassar, yaitu siring balla," ujarnya saat menyaksikan festival tersebut.
Secara dominan, menurut dia, seluruh aktivitas masyarakat Bitombang dilakukan di siring balla, misalnya menumbuk padi, mengguling jagung, menganyam dedaunan, menyimpan alat dan hasil kebun, memasak dan menanak nasi, memecah buah kenari, mengolah rempah, merawat ternak, hingga istirahat pada siang hari. "Selain itu, siring balla juga sebagai ruang interaksi sosial antarmasyarakat Bitombang," katanya.
Fadhly mengungkapkan, perkampungan Bitombang adalah ruang purba yang menyimpan banyak artefak, sejarah, sosio-kultur, dan kebudayaan masyarakatnya yang masih lestari sampai saat ini. "Setiap sudut landscape kampung ini menawarkan teks yang perlu dibaca, sehingga menjadikannya sebagai ‘ruang baca’ yang inspiratif," katanya.
Dia menjelaskan bahwa masyarakat Bitombang sebagai pelaku utama festival ini secara keseluruhan, menggunakan lanskap kampung sebagai panggung ekspresi mereka. "Terdapat delapan titik panggung pertunjukan yang berangkat dari spirit lagu tradisional mereka yang berjudul Kelongna Bontobangun," katanya.
Pembukaan diawali dengan bebunyian ngalu-ngalu (permainan kincir angin tradisional) lalu pembacaan puisi. Kelompok anak-anak berdiri di punggung batu menyanyikan "Kelongna Bontobangun" sambil diiringi dawai suling Dg. Bilok, menyusul atraksi silat tradisional kontau.
Di panggung selanjutnya, remaja perempuan menari pakkarena bontobangun, sedangkan remaja pria dengan permainan attunrung katto/bulo atau perkusi bambu.
Terlihat juga iringan para petani yang membawa hasil kebun mereka sambil melenggang pakoko/a’lembara (pria) dan assoong kombu (wanita). Kemudian, ada juga suguhan tarian ekspresi merespons siring sebagai gerak zaman—sebuah representasi aktivitas masyarakat Bitombang.
Selain itu, yang menarik perhatian adalah di salah satu siring balla rumah warga dijadikan museum, yang menyimpan memori dan pengetahuan masyarakat Bitombang.
Sebuah lapangan luas juga menampilkan atraksi silat pedang yang mereka namai dengan manca pa’dang. Di panggung terakhir, terdapat suguhan musik langgam kelong-kelongna bontobangun, yang sekaligus menjadi penutup rangkaian lawatan festival kampung tua Bitombang.
Festival Assiring Bitombang kali ini memberikan pengalaman estetis dan artistik bagi setiap pengunjung yang hadir. Pengunjung sambil berjalan kaki dapat menikmati sajian pentas budaya di beberapa panggung terbuka ataupun di siring balla rumah warga.
Selain itu, menurut Fadhly, pengunjung juga disajikan pengalaman historis dari setiap ruang kampung yang bersejarah, sehingga membawa kembali ingatan-ingatan pada refleksi kehidupan masyarakat Bitombang masa lampau.
"Festival ini secara nirsadar mengajak kita untuk membaca kebudayaan lokal agar memiliki sense of culture," katanya.
Kepekaan terhadap isu-isu kebudayaan yang bernilai historis tersebut diharapkannya, tidak hanya menjadi sebatas dokumentasi arsip pribadi. "Perlu untuk melakukan suatu upaya konkret agar pengetahuan lokal tetap berkelanjutan, dan adaptif menghadapi kemungkinan disrupsi yang rawan terjadi di era ini," katanya. (rin)