Catatan 'Uda' Akmal Nasery Basral: Penangkapan Buya Hamka
Akmal Nasery Basral alias Uda Akmal adalah penulis 24 buku yang juga sosiolog. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena. Di antara karyanya adalah buku dwilogi Buya Hamka: Setangkai Pena di Taman Pujangga dan Serangkai Makna di Mihrab Ulama. Berikut tulisannya yang menjadi catatan berseri bertajuk Sketsa Ramadhan (Skema).
DIPLOMASI REPUBLIKA --- HARI ini Kamis, 14 April 2022 bertepatan dengan 12 Ramadan 1443 H. Sesekali kita perlu refreshing jelajahi masa lalu dengan mesin kapsul waktu yang melesat lebih cepat dari desing peluru. Zing, zziiiinggg!
Lihatlah sekeliling. Kita sekarang berada di halaman Masjid Al Azhar Pusat, Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru. Almanak dinding di ruang kantor masjid menunjukkan tarikh: Senin, 12 Ramadan 1383 H yang genting. Persis 60 tahun silam berdasarkan sistem kalender hijriyah. Jika gunakan hitungan Masehi syamsiyah, hari itu adalah Senin, 27 Januari 1964 atau 58 tahun lalu. Penanggalan mana pun yang digunakan tak masalah.
Fokuskan saja perhatian pada gerakan seorang lelaki berusia 56 tahun yang baru selesai mengisi pengajian Dhuha kaum ibu yang ramai. Sepoi angin bertiup nyaman dalam dekapan musim hujan. Lelaki itu berjalan perlahan di halaman masjid dengan tongkat di tangan kanan yang baru digunakan dua tahun terakhir. Muasalnya akibat tergelincir menuruni tangga masjid--berjumlah 46 anak tangga—membuat tubuhnya terbanting telak dan tulang tumitnya retak.
Pria paruh baya tersebut kini sudah keluar halaman masjid yang basah, menuju rumahnya di Jalan Raden Patah yang berjarak beberapa langkah. Pikirannya tenang. Dia akan beristirahat sebentar sebelum kembali ke masjid saat waktu zuhur datang. Sama sekali tak ada firasat bahwa nasibnya akan dibuat remuk gelombang pasang politik domestik yang tengah mengamuk.
Dia tiba di depan rumah dan mendapat sapa ramah. “Assalamu’alaikum Tuan Hamka,” ujar seorang dari tiga lelaki yang sudah menunggu di teras rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Hamka tanpa syak wasangka. Sudah jamak para tamu menunggu kehadirannya hampir setiap waktu di rumahnya yang selalu terbuka 24 jam. “Kalian dari mana? Sudah bertemu Umi?” tanyanya merujuk panggilan sang istri, Siti Raham, yang sedang sakit ketika dia tinggalkan untuk mengisi pengajian.
“Kami dari DEPAK. Kami ditugaskan menjemput Tuan Hamka. Tuan Hamka terjerat PenPres No. 11,” ujarnya tanpa basa-basi.
DEPAK? Penpres? Intuisi Hamka mengabarkan ada sesuatu yang tak beres. DEPAK adalah Departemen Angkatan Kepolisian, sedangkan PenPres No. 11/1963 adalah Penetapan Presiden yang membolehkan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan kudeta. “Subhanallah! Ini tuduhan tidak main-main karena menganggap saya melakukan makar,” jawab Hamka yang memahami isi peraturan di luar kepala. “Ini fitnah.”
Namun garis kehidupan sang pemilik nama lengkap Prof. Dr. (HC) Haji Abdul Malik Karim Amrullah tersebut sudah ditoreh aras zaman. Saat itu juga lelaki Minang penggubah dua roman jempolan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck digelandang ke markas besar DEPAK selama dua jam yang menegangkan. Hamka sama sekali tak tahu begitu dirinya diangkut pergi, istrinya yang sakit langsung pingsan tak sadarkan diri.
Dari kantor DEPAK, ayah sepuluh anak itu dibawa lagi ke Bogor, kemudian Cimacan, dan akhirnya ke sebuah bungalo di kawasan Puncak Pass. Aparat yang menjalankan tugas tampaknya sudah berhitung bahwa kabar penangkapan seorang ulama terkenal di siang hari akan cepat tersebar dan membuat umat mencari keberadaannya di semua kantor polisi di wilayah ibu kota. Dalam hal ini mereka benar. Berita hilangnya Imam Masjid Agung Al Azhar yang misterius—karena tak muncul saat salat dzuhur dan di rumah pun tak ada—membuat gempar warga ibu kota termasuk Jenderal Abdul Haris Nasution.
Namun, karena penangkapan dilakukan DEPAK, bukan oleh militer, membuat Nasution tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketika dia bertanya kepada Kepala Kepolisian Jenderal Sucipto Danukusumo, “Beliau mengelak menjawab,” ujar Nasution kepada Rusydi Hamka, anak sang ulama, yang sedang mencari tahu keberadaan sang ayah.
Di bungalo Puncak Pass, Hamka disekap selama empat hari. Pada 31 Januari sekitar pukul 4 sore, dia dijemput tiga polisi berpakaian preman. Mereka singgah di bungalo lain dan bertemu Mr. Kasman Singodimedjo—mantan Jaksa Agung, Menteri Muda Kehakiman, dan mantan anggota Badan Konstituante dari Masyumi—yang sudah dua bulan ditahan. Setelah itu Hamka dibawa tiga penjemputnya menuju Sekolah Kepolisian Sukabumi. Mereka sampai di tempat itu berbarengan dengan saat azan maghrib tanda berbuka puasa. Hamka menghabiskan malam di sana. Namun semua pertanyaannya tentang apa yang terjadi tak pernah mendapat jawaban memuaskan.
Keesokan harinya, 1 Februari, semua misteri mulai lebih jelas bagi Hamka setelah menjalani interogasi. Dia dituduh terlibat rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963 yang bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah Indonesia dan membunuh Presiden Sukarno. Interogator menuding Hamka dan komplotan menerima bayaran empat juta dari Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia. “Rekan Saudara, Dalari Umar, menyimpan empat peti granat untuk dilempar kepada Presiden Sukarno. Semua rahasia sudah di tangan polisi. Kalian para pengkhianat akan diganyang!”
Hamka mematung. Tak menyangka ada seorang anggota polisi, dengan tubuh lebih kecil darinya, wajah dingin dengan kumis tebal, sampai menuding wajahnya dengan suara berapi-api. Hamka berusaha sekuat tenaga menahan emosi agar tidak meledak. Apalagi dia punya kemampuan silat yang memadai. Diliriknya pinggang interogator yang menyembunyikan sepucuk pistol. Hamka mengontrol jawabannya agar tetap tenang. “Saya seorang nasionalis. Saya ikut memerdekakan bangsa ini. Tidak mungkin saya menjadi pengkhianat negeri ini ...”
“Saudara pengkhianat! Saudara lebih pro-Malaysia ketimbang Pemerintah Indonesia,” cecar interogator.
“Tidak benar,” Hamka terbata-bata karena syok dan marah. “Saya seorang patriot ...”
“Dusta! Saudara pengkhianat yang menjual negeri ini kepada Malaysia,” potong sang interogator dingin. Berulang-ulang. Interogasi berlangsung intens setiap hari, berjam-jam, sampai 8 Februari, kadang sampai dini hari. Di luar tahanan, orang-orang sibuk ibadah setiap malam menunggu Lailatul Qadar. Sepotong malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Idul Fitri datang—bertepatan 15 Februari 1964—membawa kekecewaan bagi jamaah Masjid Al Azhar karena imam masjid mereka tetap tak jelas di mana rimbanya. Usai salat Ied dilanjutkan dengan khutbah hari raya yang disampaikan oleh Ruslan Abdulgani, orang kepercayaan Sukarno. Jamaah berdiri dan beramai-ramai meninggalkan masjid sebagai tanda protes kepada Pemerintah.
Di Sukabumi—kota yang berudara dingin—kesehatan Hamka yang mengidap wasir dan diabetes kian terpuruk karena stres dan fasilitas tahanan yang buruk. Pada Agustus 1964, para penahannya membawa Hamka untuk diperiksa di RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur. Sebab jika sang ulama sakit parah, mereka juga yang akan terkena getah.
Rencana polisi sederhana: setelah diperiksa dokter dan diberi obat secukupnya, Hamka kembali digiring ke selnya. Namun lain rencana, lain realita. Dokter yang memeriksa Hamka mengharuskan sang ulama menjalani perawatan intensif di RS tak boleh dibawa keluar lagi. Polisi menyerah pada keinginan dokter yang tanpa kompromi.
Sejak itu, Hamka mengisi hari-harinya sebagai tahanan RS—karena tetap ada polisi yang menjaganya—dengan kegiatan membaca dan menulis. Keluarganya yang kini sudah diperkenankan menjenguk biasanya membawakan setumpuk kertas dan tinta. Hamka memfokuskan menulis tafsir Al Qur’an hanya dengan mengandalkan ingatannya dalam mengupas makna ayat demi ayat karena tak punya akses ke kitab-kitab klasik dan dokumentasi tertulis lainnya.
Setelah kertas penuh dengan tulisan tangan, Hamka menyerahkan kepada siapa pun keluarganya yang menjenguk. Di rumah, tulisan itu diketik ulang oleh putra sulungnya Zaki, biasanya dari sehabis isya sampai jelang subuh. Proses itu berlangsung berulang-ulang. Sementara Hamka jika lelah menulis akan gunakan waktunya untuk membaca kisah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—ulama besar kelahiran Harran, Turki dan ahli fikih mazhab Hambali—yang pernah dipenjara tujuh kali selama kekuasaan Dinasti Mamluk namun tetap aktif melahirkan tulisan demi tulisan. Kisah Ibnu Taimiyyah itu yang menjadi tambahan energi dan pengobar semangat bagi Hamka bagi jika Syaikhul Islam mampu menulis di bawah tekanan penjara, maka dia juga harus bisa.
Di luar RS, suasana politik domestik kian panas. Berujung dengan kudeta G30S PKI yang telengas. Anak bungsu Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani yang baru berumur 5 tahun, termasuk yang tewas akibat tembakan brutal yang diberondongkan pelaku makar yang beringas. Ibu Pertiwi menangis tumpas.
Pada Januari 1966, Hamka dibebaskan dan diperbolehkan berkumpul lagi dengan keluarganya dengan status tahanan rumah. Dua bulan kemudian statusnya dilonggarkan menjadi tahanan kota. Dua bulan berikutnya lagi, pada Mei 1966, Kepolisian dan Kejaksaan Agung menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Hamka tak bersalah. Semua tuduhan yang ditimpakan kepadanya dianulir. Berakhirlah masa penahanan sewenang-wenang selama 29 bulan (Januari 1964-Mei 1966) terhadap Hamka tanpa sekali pun dirinya menjalani sidang pengadilan selain dijadikan korban fitnah dan intrik politik keji yang halalkan semua cara untuk mencapai tujuan.
Dua hari sebelum kemerdekaan Indonesia ke-21—pada 15 Agustus 1966—Hamka dan para tahanan politik lain yang dibebaskan Orde Baru menghelat syukuran di Masjid Agung Al Azhar. Bagi Hamka selain untuk kebebasannya juga untuk selesainya Tafsir Al Azhar--lengkap 30 juz--yang ditulisnya selama menjalani masa tahanan di RS Persahabatan. Luar biasa.
Kisah di atas adalah cuplikan dari Bab 42 “Buya Terpidana” dari buku saya Serangkai Makna di Mihrab Ulama (Republika Penerbit) yang beredar awal Ramadan ini. Ini buku kedua dari dwilogi kisah hidup Buya Hamka setelah buku pertama Setangkai Pena di Taman Pujangga yang sudah terbit di awal masa pandemi.
Buku pertama Setangkai Pena mengisahkan Hamka sejak lahir sampai berusia 30 tahun (1908-1938), yang merupakan pertemuan pertamanya dengan Bung Karno saat menjadi tahanan politik di Bengkulu. Sementara buku kedua Serangkai Makna menceritakan sejarah hidup Hamka sejak umur 31 tahun sampai wafat dalam usia 73 tahun (1939-1981).
Mengingat kembali tragedi yang pernah terjadi pada diri Buya Hamka pada tanggal ini—12 Ramadhan 60 tahun silam—bukan dengan tujuan mengkultusindividukan sosok dengan seabrek predikat--ulama, mufassir, pujangga, jurnalis, politisi, pemikir kebudayaan, pendidik—itu melainkan untuk mengingat lagi peringatan yang pernah disampaikan filsuf George Santayana (1863-1952) dengan pahit, “ Those who do not remember the past are condemned to repeat it.”
Penangkapan semena-mena terhadap warga negara tak boleh terjadi lagi di negeri tercinta. Selamanya. (yen)
* Buku karya Uda Akmal bisa dipesan dari www.bukurepublika.id atau IG @bukurepublika.
** @akmalbasral